Wayang
golek
Wayang golek merupakan
salah satu dari ragam kesenian wayang yang terbuat dari bahan kayu
yang merupakan hasil perkembangan wayang kulit dari
keterbatasan waktu supaya dapat ditampilkan pada siang atau malam hari. Pertama
kali diperkenalkan oleh Sunan Kudus di daerah Kudus (dikenal Wayang Menak),
Cirebon (dikenal Wayang cepak) lalu Parahyangan.
Wayang golek sangat populer di wilayah Jawa Barat,
daerah penyebarannya terbentang luas dari Cirebon hingga Banten.
Sejarah
Sekitar tahun 1583, Sunan Kudus yang
merupakan salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa pernah
membuat kurang lebih 70 buah wayang dari kayu. Wayang tersebut dipertontonkan
di siang dan malam hari dengan sumber cerita lokal atau imajinasi sendiri yang
tentunya sarat dengan pesan agama Islam. Sunan Kudus menggunakan
bentuk wayang golek awal ini untuk menyebarkan Islam di masyarakat.
Munculnya kesenian wayang kayu lahir dan berkembang
di wilayah pesisir utara pulau Jawa pada awal abad ke-17.
Dikarenakan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur telah
terlebih dahulu mengenal wayang kulit,
kehadiran wayang golek kurang begitu berkembang, karena masyarakat disana
terlanjur menggemari wayang kulit. Namun wayang golek Sunan Kudus itu
menarik hati dari ulama atau sekurang-kurangnya santri Cirebon yang
sedang berkunjung (atau berguru) ke wilayah Sunan Kudus. Akhirnya ide wayang
golek itu dibawa ke Cirebon.
Pementasan wayang golek di tanah Parahyangan dimulai
sejak Kesultanan Cirebon berada di tangan Panembahan Ratu (1540-1650)
cicit dari Sunan Kudus. Yang dipertunjukan saat itu
adalah wayang cepak (atau wayang golek
papak), disebut demikian karena memiliki bentuk kepala yang datar.
Selanjutnya ketika kekuasaan Kesultanan Cirebon diteruskan oleh Pangeran Girilaya (1650-1662), wayang cepak semakin
populer dimana kisah babad dan sejarah tanah Jawa menjadi inti cerita, yang
tentunya masih sarat dengan muatan agama Islam.
Lalu wayang golek dengan cerita dari epos Hindustan
seperti Ramayana dan Mahabarata seperti yang sekarang mulai hadir kisah-
kisah Ramayana dan Mahabharata tersebut
kemungkinan besar pertama kali lahir dan berkembang dalam pertunjukan wayang kulit.
Semula kisah tersebut menggunakan bahasa Jawa.
Namun, setelah banyak dalang-dalang dari kalangan orang Sunda, maka bahasa Sunda pun
mulai menggantikan penggunaan bahasa Jawa.
Perkembangan selanjutnya adalah wayang golek purwa
yang tidak bisa dilepaskan dari peran Wiranata Koesoemah III (Bupati
Bandung ke-6). Beliau sangat menggemari wayang, tetapi ia menginginkan suatu
pertunjukan yang lebih menarik dan memiliki nilai-nilai keSunda-an.
Akhirnya ia
meminta salah seorang pengrajin wayang kulit bernama
Ki Darman (pegiat wayang kulit asal Tegal) di daerah Cibiru, Ujungberung, Bandung untuk
membuat bentuk wayang golek yang lebih menarik dengan bentuk kepala / rupa yang
benar-benar menyerupai manusia. Maka lahirlah bentuk Wayang Golek Sunda seperti
yang kita lihat sekarang.
Wayang golek semakin populer, tidak lagi sebatas
konsumsi kaum menak, tapi masyarakat biasa pun mulai menggemari wayang golek
ini. Wayang golek pun semakin menyebar ke segala penjuru Jawa Barat setelah
dibukanya De Grote Postweg (Jalan Raya Daendels)
yang menghubungkan daerah-daerah di Jawa Barat.
Dari paparan diatas maka di tanah Parahyangan bermula
muncul wayang-wayang klasik seperti wayang golek papak, wayang golek purwa dan
wayang golek Pakuan. Wayang Golek Papak masih dipertontonkan di daerah Cirebon,
dengan kisah babad yang menggunakan bahasa
Cirebon.
Wayang Golek Purwa, memainkan kisah Mahabharata dan Ramayana yang
diadopsi dari pementasan wayang kulit namun
menggunakan campuran bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Wayang golek pakuan, kisah yang ditampilkan adalah kisah-kisah legenda Priangan
seperti Sangkuriang, Mundinglaya Dikusumah, Lutung
Kasarung dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar